Friday, November 7, 2008

FAKTUR PAJAK FIKTIF (2)

(Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan tentang Faktur Pajak Fiktif)

B. Faktur Pajak Tidak Sah/ Fiktif

Beberapa tahun belakangan ini, marak sekali kita dengar kasus pembobolan uang Negara dengan cara memanipulasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Akibatnya negara pun dirugikan hingga triliunan Rupiah. Beberapa kasus yang terkenal adalah Kasus KPP Pademangan, Tebet, Grogol Petamburan, Fadlan, dan kasus penangkapan sindikat pemalsu dokumen restitusi pajak pada awal tahun ini berhasil diciduk oleh Polres Kesatuan Polisi Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Priok beserta Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari satu petugas Bea Cukai, tiga pimpinan perusahaan jasa kepabeanan dan delapan pimpinan perusahaan swasta yang selama sepuluh tahun terakhir telah merugikan Negara triiunan Rupiah serta masih banyak lagi kasus yang lain. Melihat besarnya jumlah kasus yang ditangani maupun kerugian Negara yang diakibatkannya, sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua dalam memberantasnya.

Restitusi PPN diartikan sebagai pengembalian PPN karena jumlah pajak masukan (pembelian) melebihi pajak keluaran (penjualan). Umumnya, perusahaan yang berorientasi ekspor yang akan memohon restitusi, sebab dalam upaya menggalakkan ekspor dan juga supaya barang Indonesia lebih kompetitif di luar negeri, pemerintah mengizinkan penjualan ekspor tidak perlu dilakukan pemungutan PPN. Sampai di sini maksud dan tujuan operasional restitusi masih baik untuk kepentingan usaha di Indonesia. Dan apabila dianalisis dari logika ini, maka semakin banyak pengusaha yang melakukan restitusi berarti semakin banyak ekspor yang dilakukan dengan kemungkinan bahan baku lokal yang besar untuk semua materialnya, baik material langsung maupun pendukung.

Namun kemudahan fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah ini dimanfaatkan secara tidak benar oleh Wajib Pajak nakal untuk membobol kas Negara. Modus yang dilakukan pun beragam dari mulai melakukan mark up nilai pajak agar mendapat restitusi lebih besar, sampai pemalsuan faktur pajak yang digunakan untuk melakukan ekspor fiktif. Faktur pajak palsu yang digunakan dalam kejahatan ini, biasa disebut faktur pajak tidak sah/ bermasalah/ fiktif, selanjutnya disebut faktur pajak tidak sah.

Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 29/PJ.53/2003 tentang langkah-langkah penanganan atas penerbitan dan penggunaan faktur pajak tidak sah (fiktif), yang dimaksud faktur pajak tidak sah adalah:

· Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

· Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan Nomor Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.

· Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit

· Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN, tetapi secara material tidak terpenuhi yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.

· Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Ada beberapa ciri-ciri Wajib Pajak yang diindikasikan sebagai penerbit maupun pengguna faktur pajak tidak sah, diantaranya:

· Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN, tetapi elemen data SPT beserta lampirannya tidak dapat direkam karena Wajib Pajak tersebut tidak terdaftar sebagai PKP pada Master File Lokal.

· Wajib Pajak yang sering pindah alamat atau selalu mengajukan permohonan perpindahan alamat atau tempat kedudukan atau permohonan perpindahan lokasi tempat terdaftar (Kantor Pelayanan Pajak).

· Wajib Pajak Non Efektif (NE) tiba-tiba aktif dan mempunyai jumlah penyerahan yang cukup besar tiap bulannya.

· Wajib Pajak yang baru berdiri langsung mempunyai jumlah penyerahan besar, tetapi kurang bayarnya relatif kecil.

· Wajib Pajak-Wajib Pajak yang pengurus dan komisarisnya terdiri dari orang yang sama.

· Wajib Pajak-Wajib Pajak yang Akta Pendirian badan hukumnya disahkan oleh Notaris yang sama dan pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan, demikian juga dengan Nomor Akta.

· Wajib Pajak yang melaporkan jumlah penyerahan yang tidak sebanding dengan jumlah modal atau jumlah harta perusahaan.

· Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah penyerahan yang terutang PPN (Pajak Keluaran) menjadi besar dan atau jumlah Pajak Masukan menjadi besar.

· Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha perdagangan dan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti core business Wajib Pajak tersebut.

· Wajib Pajak yang jumlah pajak kurang bayar-nya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

· Wajib Pajak tidak tertib atau tidak pernah melaporkan kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan Pasal 21, 23 dan 25.

· Wajib Pajak yang melakukan rekayasa pembukuan.

· Wajib Pajak yang alamatnya tidak ditemukan, begitu pula alamat pengurusnya.

· Wajib Pajak yang jumlah penyerahannya besar, namun PPh Pasal 21 nya kecil.

· Wajib Pajak yang SPT Masa PPN-nya Lebih Bayar dan dikompensasi terus menerus, dan begitu dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan adanya persediaan.

Dalam kasus faktur pajak tidak sah ini, biasanya dilakukan secara berkelompok yang melibatkan banyak pihak dan tidak terlepas dari peranan dan keikutsertaan oknum aparat pajak, Bea dan Cukai, pengelola pelabuhan, pengusaha peti kemas, agen pelayaran asing yang menerbitkan dokumen atau bill of lading, produsen atau pengusaha ekspor, pengusaha ritel, makelar jasa kepabeanan, makelar agen pelayaran, dan makelar faktur, serta masih banyak instansi lainnya. Misalnya, dalam memeriksa WP, meskipun oknum pemeriksa pajak mengetahui adanya indikasi faktur pajak fiktif justru tidak dilakukan pemeriksaan, namun malah menego berapa “bagi hasil” yang bisa didapat. Oknum aparat Bea Cukai juga berperan dalam menerbitkan dokumen-dokumen kepabeanan serta ekspor impor, misalnya Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dsb. Sedangkan notaries, membantu membuat akta pendirian perusahaan fiktif.

Sanksi Faktur Pajak Fiktif

Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai, apabila faktur pajak tersebut disalahgunakan maka hal tersebut dapat menyebabkan kerugian Negara, dan atas percobaan melakukan tindak pidana itu merupakan delik tersendiri. Oleh karena itu, di dalam UU KUP yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun 2008 pasal 39 dan 39A, sudah diatur sanksi bagi mereka yang menyalahgunakan faktur pajak maupun mengajukan restitusi dan pengkreditan pajak namun isinya tidak benar.

Dalam pasal 39 disebutkan setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana:

a. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Sedangkan setiap orang yang dengan sengaja :

a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya;atau

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Contoh Kasus

Berikut kami sampaikan contoh kasus beberapa modus operandi penyalahgunaan faktur pajak tidak sah yang pernah terjadi dan sering dilakukan oleh WP nakal disertai solusi yang kami tawarkan dalam setiap kasus.

a. Mengumpulkan dan membeli faktur pajak dari peritel untuk dikreditkan sebagai faktur PM dengan tujuan ekspor fiktif.

Perusahaan yang nakal mengumpulkan dan membeli dokumen pembelian barang dari supermarket, mal-mal (peritel), karena biasanya para pembeli ritel tidak mengklaim PPN masukan dalam faktur pembeliannya. Selanjutnya, dokumen pembelian barang tersebut diberikan ke Bea Cukai. Pihak perusahaan mengaku bahwa barang-barang yang dibelinya itu akan diekspor. Dengan begitu, dia bisa menarik kembali dari PPN barang –barang yang dibelinya di dalam negeri. Berdasarkan keterangan itu, bea cukai pun mengeluarkan dokumen pemberitahuan ekspor. Selanjutnya, dengan modal dokumen tersebut, si pengusaha mendatangi kantor pelayanan pajak untuk mengurus restitusi pajaknya. Kecurangan tersebut baru terbongkar setelah petugas mendapatkan bukti bahwa pengusaha tersebut tidak pernah melakukan ekspor.

b. Dokumen ekspor lengkap, namun barang yang diekspor ekpor tidak pernah sampai di tempat tujuan ekspor.

Jika pengusaha eksportir (Indonesia) dengan importer dari Singapura (misalnya) “bekerjasama” untuk mengeruk kas Negara melalui restitusi PPN, semua dokumen ekspor lengkap, arus barang dan arus uang juga telah dibuktikan dengan adanya dokumen B/L (bill of lading) dan transfer uang di bank. Barang yang rencananya akan diekspor tersebut juga telah diberangkatkan melalui pelabuhan asal, misalnya Tanjung Priok, namun tidak akan sampai di pelabuhan Singapura, sebab dibelokkan ke Batam (misalnya) dan dijual di sana. Sehingga tidak pernah ada kejadian ekspor. Pengusaha eksportir akan meminta restitusi pajak ke KPP dengan membawa dokumen-dokumen tersebut. Petugas pajak tidak akan sampai memeriksa apakah barang ekspor itu telah sampai di Singapura atau tidak, karena memang tidak ada persyaratan itu, sehingga permohonan restitusi dikabulkan. Pengusaha diuntungkan dengan tetap menjual barangnya di dalam negeri, serta restitusi PPN yang didapatkannya dibagi dengan rekanan yang di Singapura.

c. Menggunakan Faktur Pajak fiktif dimana dalam hal ini transaksinya memang jelas tidak ada. Terhadap cara ini sesungguhnya akan mudah terdeteksi dengan sistem konfirmasi Faktur Pajak, namun karena jawaban konfirmasi lambat atau karena kepandaian PKP tersebut meyakinkan petugas KPP, maka ada kemungkinan dapat lolos.

d. Menciptakan PKP-PKP fiktif yang dilibatkan dalam suatu rangkaian transaksi yang fiktif pula. Dengan cara ini, satu PKP membentuk beberapa PKP lainnya yang biasanya dibuat berlokasi di beberapa KPP berbeda serta kota yang berbeda/ berjauhan. Selanjutnya antara PKP-PKP tersebut diciptakan seakan-akan ada transaksi yang didukung dengan faktur pajak. Biasanya beberapa diantara PKP tersebut merupakan perusahaan "boneka" yang melaporkan SPT Masanya kurang bayar sedikit, sehingga terlepas dari beberapa kriteria verifikasi lapangan, sedangkan perusahaan (PKP) intinya atau PKP-PKP pada tempat tertentu akan meminta resitusi dengan menggunakan Faktur Pajak hasil transaksi Fiktif antar PKP dalam kelompok tersebut. Dalam kasus ini, apabila diadakan konfirmasi juga akan dijawab "ada" karena Faktur pajak tersebut memang telah diatur agar dilaporkan sebagai Pajak Keluaran oleh PKP-PKP "bonekanya".

e. Sebuah PKP setiap bulan melaporkan SPT Masa PPN pada KPP. Sebelum dilakukan proses perekaman dan pemberkasan, SPT Masa PPN tersebut dipinjam tanpa melalui prosedur peminjaman melalui oknum petugas di seksi PPN. Selanjutnya SPT Masa PPN tersebut dipalsukan dengan cara merubah rincian faktur Pajak Masukan dan rincian faktur Pajak Keluaran yang nilainya digelembungkan dan SPT Masa PPN tersebut dimasukkan kembali ke KPP melalui TPT, yang selanjutnya SPT Masa PPN palsu tersebut dikirim ke bagian komputer untuk direkam. Dalam keadaan demikian, setiap kali KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi faktur pajak (Pajak Masukan vs Pajak Keluaran) dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN atau pemeriksaan pajak akan selalu dijawab ada.

f. Dan masih banyak lagi modusnya.

Analisis Kelemahan Sistem Restitusi PPN

Dari beberapa contoh kasus di atas dapat diambil beberapa pelajaran dalam rangka penyempurnaan proses restitusi PPN. Beberapa kelemahan yang bisa dilihat yaitu:

1. Pemberian jawaban konfirmasi hanya didasarkan pada pencocokan Faktur Pajak yang dimintakan konfirmasi dengan Daftar Pajak Keluaran pada SPT Masa dari PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dimaksud. Dengan cara ini tidak akan dapat terdeteksi apakah PKP yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut benar-benar ada dan aktif berusaha atau hanya berfungsi sebagai PKP Fiktif atau "papan nama". Didalam kenyataannya, PKP-PKP "boneka" atau "papan nama" tersebut secara teratur memasukkan SPT Masa PPN serta melunasi pajak yang kurang bayar dan melaporkan Faktur-faktur Pajak yang diterbitkannya dalam Daftar Pajak Keluaran.

2. Proses permintaan konfirmasi dan jawaban konfirmasi Faktur Pajak berlangsung lambat (memakan waktu yang cukup lama) sehingga batas waktu penyelesaian restitusi belum diperoleh atau belum seluruh Faktur Pajak mendapat jawaban konfirmasi. Keterlambatan ini dapat berasal dari kurang cepatnya respon dari KPP yang diminta konfirmasi, atau karena proses administrasi/tata usaha surat menyurat yang lama, atau karena pihak KPP yang meminta konfirmasi sendiri yang lambat mengajukan permintaan sehingga sudah mendekati batas waktu penyelesaian restitusi. Kondisi demikian akan mengakibatkan para petugas menjadi kurang waspada karena telah diburu batas waktu.

3. Kebenaran ekspor hanya didukung oleh dokumen PEB yang telah di fiat muat, B/L dan LPSE. Kelemahan dokumen pendukung ini adalah bahwa fiat muat dari Ditjen Bea dan Cukai pada PEB ternyata bukan merupakan jaminan bahwa barang benar-benar diekspor, dan demikian pula dengan B/L. Diantara dokumen tersebut yang paling menjamin kebenaran adanya ekspor adalah LPSE dari PT. Sucofindo, namun ekspor dengan LPSE ini hanya berlaku untuk jenis-jenis barang tertentu yang sangat terbatas jumlahnya.

4. Petugas yang melakukan pemeriksaan lapangan dalam rangka pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tidak bekerja secara professional dan benar. Mereka dapat dibohongi Wajib Pajak yang mengaku mempunyai kegiatan usaha, padahal sebenanya kegiatan usahanya fiktif/ milik orang lain. Terkadang, mentalitas petugas pajak yang melakukan pemeriksaan lapangan bisa disuap dengan cara diajak makan di restoran tertentu dengan alasan masih di luar kantor. Atau bahkan parahnya, terkadang jika lokasi kegiatan usaha jauh dan sulit dijangkau, fiskus malas berangkat ke lapangan dan hanya mengkonfirmasi melalui telepon. Padahal data (fotokopy KTP, KK, Keterangan Domisili, dll) yang digunakan untuk pengukuhan NPWP pada umumnya palsu/tidak sesuai dengan kenyataan.

Saran Perbaikan Sistem Restitusi

Beberapa saran yang dapat kami berikan dalam rangka pengamanan restitusi PPN diantaranya:

1. Fiskus diharuskan untuk melakukan analisa perkembangan usaha PKP yang meminta restitusi, perkembangan pembayaran PPN-nya dan perkembangan permintaan restitusi untuk beberapa masa pajak terakhir, serta kepatuhan PKP melaksanakan kewajiban perpajakan pada umumnya. Hal-hal ini semua sesungguhnya sangat penting untuk menilai apakah PKP memang telah melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan sesuai ketentuan atau hanya memenuhi persyaratan untuk tujuan tertentu. Selain itu, upaya selanjutnya adalah mencabut PKP yang tidak efektif. Jika diketahui PKP selama dua tahun tak beraktivitas, maka bisa diusulkan dihapus pengukuhan PKP-nya. Dengan demikian, hanya PKP yang benar-benar memiliki kegiatan usaha yang akan dilayani. Konsekuensi bagi yang dicabut adalah tidak mendapat restitusi.

2. Proses konfirmasi Faktur Pajak seharusnya mendapatkan perhatian dan prioritas sepenuhnya baik dari Kepala KPP yang meminta konfirmasi maupun Kepala KPP yang diminta konfirmasi, sehingga jangka waktunya dapat dipersingkat. Misalnya, Memberikan penegasan kembali tentang pentingnya melakukan langkah-langkah pengamanan berkaitan dengan faktur pajak fiktif dan klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-754/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan. Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara periodik dan tidak hanya pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya kejanggalan dapat segera diambil langkah-langkah pencegahan terjadinya penyimpangan lebih lanjut.

Selain itu, perlu dilakukan pembenahan database internal DJP sehingga akan memudahkan fiskus dalam melakukan konfirmasi faktur pajak yang diperlukan.

3. Lebih meningkatkan pengendalian terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan terhadap pejabat yang dapat mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an maupun penggunaan, disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga dapat mencegah terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

4. Menyempurnakan aplikasi sistem Pajak Keluaran Pajak Masuk (PK-PM) dan merancang formulir SPT Masa PPN baru yang lebih sederhana serta berbasis data elektronik. Sehingga petugas tidak akan merekam ulang secara manual satu per satu ke dalam aplikasi dan waktu yang dibutuhkan dalam proses entry data dan konfirmasi bisa lebih singkat.

5. Segera merealisasikan jaringan pelabuhan (port net) melalui adanya Indonesian National Single Window yang nantinya akan merupakan bagian dari ASEAN Single Window atau bahkan International port net. Jika sistem ini diterapkan, maka ekspor yang berangkat dari Indonesia akan langsung tercatat dalam dokumen di Singapura atau negara tujuan lainnya. Dengan begini, maka kemungkinan ekspor fiktif dapat dihindari. Selain itu, penggunaan sistem ini juga akan membantu memperkecil kemungkinan penyelundupan karena barang yang dicatat sebagai ekspor Singapura ke Indonesia harus sama dengan barang yang dicatat sebagai impor dari Singapura di Indonesia. Dan laporan penerimaan barang di pelabuhan Negara tujuan harus disertakan sebagai lampiran permohonan restitusi.

6. Mempercepat modernisasi DJP di seluruh Indonesia, sehingga profesionalisme, mentalitas dan moralitas pegawai pajak tidak tercemari lagi oleh adanya suap ataupun langkah licik dari Wajib Pajak nakal yang ingin membobol uang Negara melalui restitusi PPN. Serta Fiskus dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya indikasi-indikasi kecurangan Wajib Pajak.

Thursday, October 16, 2008

FAKTUR PAJAK FIKTIF (1)

(Karena pembahasan cukup panjang, akan saya bagi menjadi beberapa bagian)

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Faktur pajak berfungsi sebagai:

1. bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

2. bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak

3. sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan

A. Jenis Faktur Pajak

Ada tiga jenis faktur pajak, yaitu faktur pajak standard, faktur pajak sederhana dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai faktur pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak.

1. Faktur Pajak Standar

Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang :

a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak;

c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

f. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

g. Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;

Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :

a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;

b. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

c. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;

d. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

e. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.

Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut :

a. Lembar ke-1, disampaikan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak

b. Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar.

Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari rangkap 2, maka harus dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak Standar yang bersangkutan.

Keterangan dalam Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas dan benar, serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak.

Ciri-ciri Faktur Pajak Standar Cacat dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Diisi dengan data yang tidak benar

b. Diisi tidak lengkap tanda tangan menggunakan cap tanda tangan

c. Pengisian/pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar

d. Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan

e. Faktur Pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP

Atas Faktur Pajak Standar yang cacat, rusak salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar tersebut dapat menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti. Apabila hilang, baik Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak Standar tersebut dapat membuat copy dari arsip Faktur Pajak Standar

Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya telah diterbitkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembatalan Faktur Pajak Standar paling lambat 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut diterbitkan, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti dan/atau pembatalan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan.

Pembeli yang telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual, harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.

Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal :

a. menerbitkan Faktur Pajak Standar yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar.

b. Menerbitkan Faktur Pajak Standar setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat.

Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat, tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya.

2. Faktur Pajak Sederhana

Faktur Pajak Sederhana dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan:

a. penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, atau

b. penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang nama, alamat atau Nomor Pokok Wajib Pajaknya tidak diketahui, dapat membuat Faktur Pajak Sederhana."

Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat :

a. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak;

b. Jenis dan kuantum Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan;

c. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau besarnyaPajak Pertambahan Nilai dicantumkan secara terpisah;

d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.

Tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut di bawah ini diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana, yaitu :

a. bon kontan,

b. faktur penjualan,

c. segi cash register,

d. karcis,

e. kuitansi, atau

f. tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.

Faktur Pajak Sederhana harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak atau pada saat pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu :

- Lembar ke-1 : untuk Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak.

- Lembar ke-2 : untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Sederhana.

Faktur Pajak Sederhana dianggap telah dibuat dalam rangkap 2 (dua) atau lebih dalam hal Faktur Pajak Sederhana tersebut dibuat dalam 1 (satu) lembar yang terdiri dari 2 (dua) atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong.

Faktur Pajak Sederhana lembar kedua dapat berupa kertas ataupun rekaman Faktur Pajak Sederhana dalam bentuk media elektronik. Faktur Pajak sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan.

3. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Dirjen Pajak

Dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat :

a. Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen;

b. Nama dan alamat penerima dokumen;

c. Nomor Pokok Wajib Pajak dalam hal penerima dokumen adalah sebagai Wajib Pajak dalam negeri;

d. Jumlah satuan barang apabila ada;

e. Dasar Pengenaan Pajak;

f. Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.

Dokumen-dokumen tersebut di bawah ini sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar, yaitu :

a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;

b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;

c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;

d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;

e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi.

f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Deliverry Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;

g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;

h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;

i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.

Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya dilakukan mempergunakan mata uang asing, diatur sebagai berikut:

a. penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.

b. Apabila penyerahan BKP/JKP dilakukan Pemungut PPN, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Larangan membuat Faktur terhadap:

a. Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

b. Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara.

BPHTB Waris dan Hibah Wasiat

Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, istilah waris dan hibah wasiat sudah jamak kita temui, terutama dalam hal warisan rumah ataupun tanah. Seseorang bisa kaya mendadak apabila dia baru mendapatkan warisan dari keluarganya, entah itu orang tuanya maupun sanak saudaranya sehingga meningkatkan kekayaan dan kedudukan sosialnya di masyarakat. Tak jarang juga adanya waris dan hibah wasiat justru menjadi persengketaan yang antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya menguasai tanah maupun bangunan itu.

Melihat fenomena adanya waris dan hibah wasiat atas tanah maupun bangunan yang bisa menimbulkan peningkatan kekayaan, derajat social serta sebagai salah satu alat investasi yang menguntungkan bagi suatu individu maupun badan, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 disebutkan bahwa perolehan hak karena waris dan hibah wasiat merupakan objek pajak.

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu kita ketahui apa perbedaan dari perolehan hak karena waris dan perolehan hak karena hibah wasiat, hal ini di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 111 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan hibah. Yang dimaksud dengan perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Sedangkan Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Jadi perbedaannya terletak pada apakah yang memindahkan haknya (pewaris atau penghibahwasiat) membuat semacam akta dan sejenisnya sebagai wasiat yang menunjuk pihak-pihak yang akan diberikan haknya atas tanah dan atau bangunan yang ditinggalkannya setelah ia meninggal.

Jika yang meninggalkan haknya tidak membuat akta wasiat penunjukkan ini, maka disebut waris dan harta yang ditinggalkannya, termasuk tanah dan atau bangunan, dibagi berdasarkan hokum waris sesuai peraturan perundang-undnagan yang berlaku, yaitu ke suami/ istrinya, anak-anaknya dsb. Dan sebaliknya disebut sebagai hibah wasiat, jika yang memindahkan haknya membuat akta wasiat penunjukkan maka harta tersebut dibagi berdasarkan wasiat tersebut. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Disamping orang pribadi, penerima hibah wasiat juga berupa badan yang biasanya mempunyai kegiatan pelayanan kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.

Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Akta wasiat untuk hibah wasiat ini bentuknya dapat berupa:

a. Putusan Hakim atau Penetapan hakim/Ketua Pengadilan mengenai pembagian harta waris yang memuat penunjukan hak atas tanah dan atau bangunan yang bersangkutan sebagai telah dihibah wasiatkan kepada pemohon;

b. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah mengenai hibah yang dilakukan oleh pelaksana wasiat atas nama pemberi hibah wasiat sebagai pelaksana dari wasiat yang dikuasakan pelaksanaannya kepada pelaksana wasiat tsb; atau

c. Akta pembagian waris yang memuat hibah wasiat.

Selain itu, perbedaan yang lain adalah siapa penerima hak tersebut. Jika waris, maka yang memperoleh hak adalah orang pribadi baik yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah saja atau tidak, sedangkan dalam hibah wasiat bisa orang pribadi maupun badan, misalnya yayasan atau organisasi yang lainnya.

Berbeda dengan pengertian umum, untuk keperluan perpajakan pengertian hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah tidak termasuk saudara kandung. Biasanya meliputi: anak kandung, ayah dan/atau ibu. Pembuktian hubungan keluarga tersebut didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam fatwa waris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Sehingga jika ada pihak-pihak selain tersebut di atas menerima waris ataupun hibah wasiat maka berlaku NPOPTKP selain hibah wasiat/waris (umum).

Konsekuensi Ahli Waris atau Penerima Hibah

Pihak-pihak yang mendapatkan waris (ahli waris) maupun penerima hibah wasiat dalam hal ini memperoleh hak atas tanah dan bangunan itu secara cuma-cuma, maka untuk lebih memberikan rasa keadilan, besarnya pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena waris dan hibah wasiat hanya sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang tanpa melihat apakah penerima hak merupakan orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri atau bukan.

Selain itu, dalam hal besaran Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ada perbedaan yang signifikan antara perolehan hak karena waris, dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, dengan besarnya NPOPTKP dalam hal perolehan hak karena perbuatan dan peristiwa hukum lainnya. Berdasarkan PP Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB, maka NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri adalah sebesar maksimum Rp 300 juta yang ditetapkan secara regional (Lampiran 1). Bandingkan dengan NPOPTKP umumnya yang hanya sebesar maksimal Rp 60 juta. Hal ini tentunya akan secara signifikan menyebabkan jumlah Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang lebih sedikit dibanding dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang disebabkan bukan karena hibah wasiat dan waris. Dengan NPOPKP yang lebih sedikit, otomatis jumlah BPHTB yang dibayarkan juga akan semakin sedikit.

Saat Terutang, Surat Setoran Bea (SSB), Penentuan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), dan Ketentuan Lainnya

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Contohnya: Tuan A meninggal dunia tanggal 1 Januari 2008 meninggalkan sebidang tanah yang diwariskan kepada seorang anaknya, namun selama tahun 2008 si Anak tidak mendaftarkan perolehan tanah tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten. Maka anak tersebut belum terutang BPHTB. Jika pada tanggal 23 Februari 2009 dia baru mendaftarkan tanah tersebut untuk dibaliknamakan menjadi atas namanya ke Kantor Pertanahan, maka pada saat itulah si Anak baru terutang BPHTB dan harus segera melunasi BPHTBnya pada saat itu. Tempat terutang BPHTBnya adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran Pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Wajib pajak atau kuasanya menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dalam rangka membayar BPHTB ke tempat Pembayaran BPHTB yang ditunjuk di wilayah Kabupaten/ Kota yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. SSB mempunyai dua fungsi, yaitu digunakan untuk melakukan pembayaran/ penyetoran BPHTB yang terutang dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan bangunan serta sebagai Surat Pemberitahuan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SPOP PBB). (Bentuk formulir SSB bisa dilihat di lampiran 2). SSB ini harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal pembayaran atau perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Dalam memperhitungkan besarnya BPHTB terutang, menggunakan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagai dasar pengenaan pajaknya. Dalam hal perolehan hak atas tanah dan bangunan disebabkan adanya waris dan hibah wasiat, maka NPOP yang digunakan adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Apabila nilai pasar tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan, maka NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. Jika NJOP PBB atas objek pajak tersebut tidak ada juga, maka Menteri Keuangan berhak menetapkan NJOP atas objek pajak tersebut.

Cara Menghitung BPHTB

Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tariff sebesar 5% (lima persen). Secara matematis adalah sebagai berikut:

BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)

Contoh:

1. Pada tanggal 28 Juli 2008, Tuan Abud mendaftarkan warisan dari orang tuanya berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota BB dengan NPOP Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota BB ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00. Maka atas perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan perhitungan sebagai berikut:

BPHTB = 5 % x (Rp 400 - Rp 300) juta

= 5 % x ( Rp 100) juta

= Rp 5 juta .

2. Pada tanggal 7 November 2008, Wajib Pajak orang pribadi K mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota BB dengan NPOP Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota BB ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Perhitungannya adalah:

BPHTB = 5 % x (Rp 250 - Rp 300) juta

= 5 % x ( 0)

= 0 (NIHIL)

Permasalahan yang masih diperdebatkan dalam menghitung BPHTB Waris

Undang-undang BPHTB berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, yaitu UU nomor 5 tahun 1960 dan Pokok Agraria (UUPA) dan PP 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Dalam PP 24/1997 pasal 42, diatur mengenai peralihan hak karena pewarisan. Disana disebutkan bahwa harta waris dibagi menjadi dua, yaitu harta waris yang telah bersertifikat dan harta waris yang belum bersertifikat. Dalam kasus harta waris yang tidak bersertifikat/ belum didaftar, BPHTB tidak dikenakan pada saat peristiwa waris, tetapi dikenakan BPHTB saat dibuat dan ditandatanganinya SKPH (Surat Keterangan Pendaftaran Hak), dan masing-masing ahli waris bisa membayar BPHTBnya untuk tiap bagian yang diperolehnya. Sedangkan harta waris yang bersertifikat dan diwariskan pada lebih dari satu orang, maka pada saat peristiwa waris perlu diperhatikan dasar pembagian warisnya ada akta pembagian waris atau tidak.

Berdasarkan PP 24/1997 ini, yang menjadi permasalahannya adalah cara untuk mengenakan BPHTB atas harta waris yang diwariskan kepada lebih dari satu orang. Ada dua perbedaan yang cara mengenakan BPHTBnya, yaitu:

1. Biasanya wajib pajak langsung mendaftarkan atas nama masing-masing ahli waris, sehingga terkena BPHTB waris dengan NPOPTKP sesuai dengan jumlah ahli warisnya, yaitu sebesar maksimal Rp 300 juta berdasarkan wilayahnya jika ahli waris merupakan orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah serta dengan pengenaan yang hanya 50%. Ini biasanya merupakan modus untuk menghindari pajak yang lebih besar. Sebab jika masing-masing wajib pajak mengurangkan NPOPnya dengan NPOPTKP sebesar maksimal Rp 300 juta, maka bisa dimungkinkan semua peralihan hak karena adanya peristiwa waris itu NIHIL.

2. Harus didaftarkan dulu sebagai hak bersama, sehingga pada saat itu dikenakan NPOPTKP 1 kali. Hal ini sesuai dengan PP 24 tahun 1997 pasal 42 ayat (5). Yaitu: “Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut”. Setelah didaftarkan sebagai hak bersama, maka jika kemudian ingin dibagi-bagi/dipecah berdasarkan akta waris, maka pada saat pembagian kepada ahli waris tidak dikenakan BPHTB lagi sepanjang sesuai dengan akta pembagian waris karena merupakan kelanjutan peristiwa yang sudah dikenakan BPHTB sebelumnya. Namun apabila ada ahli waris yang menolak waris, maka pihak yang menerima hak atas tanah (yang dulunya hak bersama itu) terkena BPHTB lagi atas peristiwa pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak (merupakan objek pajak). Peristiwa peralihan hak ini dianggap sebagai peristiwa hibah, sehingga dikenakan BPHTB dengan NPOPTKP dan pengenaan selain waris dan hibah wasiat. Konsekuensi dari penerapan pendapat ini adalah pemerintah tetap memberikan keadilan pengenaan BPHTB yang lebih kecil bagi ahli waris (50%) dan NPOPTKP maksimal Rp 300 juta tanpa harus kehilangan potensi perpajakannya.

Dengan demikian, kelompok kami lebih setuju pendapat yang kedua, yaitu menjadikannya sebagai hak bersama terlebih dahulu, karena selain sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam hal ini PP 24/1997 di sisi lain penerimaan Negara dari sector BPHTB tetap terjaga karena NPOPTKP waris hanya dikenakan sekali.

Kesimpulan

1. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Salah satu perolehan hak atas tanah dan bangunan itu dikarenakan adanya peristiwa waris dan hibah wasiat yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP nomor 111 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan hibah.

2. Dikarenakan penerima waris atau hibah wasiat itu mendapatkan hak atas tanah dan bangunan secara Cuma-Cuma, maka guna memenuhi rasa keadilan dikenakan BPHTB sebesar 50% dari NPOP Kena Pajak serta NPOPTKP sebesar maksimal Rp 300 juta untuk orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.

3. Penerima harta waris yang lebih dari satu orang, sebaiknya mendaftarkan haknya sebagai hak bersama dan membayar BPHTBnya terlebih dahulu sebelum membaginya sesuai dengan akta waris maupun tanda bukti waris.