Friday, November 7, 2008

FAKTUR PAJAK FIKTIF (2)

(Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan tentang Faktur Pajak Fiktif)

B. Faktur Pajak Tidak Sah/ Fiktif

Beberapa tahun belakangan ini, marak sekali kita dengar kasus pembobolan uang Negara dengan cara memanipulasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Akibatnya negara pun dirugikan hingga triliunan Rupiah. Beberapa kasus yang terkenal adalah Kasus KPP Pademangan, Tebet, Grogol Petamburan, Fadlan, dan kasus penangkapan sindikat pemalsu dokumen restitusi pajak pada awal tahun ini berhasil diciduk oleh Polres Kesatuan Polisi Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Priok beserta Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari satu petugas Bea Cukai, tiga pimpinan perusahaan jasa kepabeanan dan delapan pimpinan perusahaan swasta yang selama sepuluh tahun terakhir telah merugikan Negara triiunan Rupiah serta masih banyak lagi kasus yang lain. Melihat besarnya jumlah kasus yang ditangani maupun kerugian Negara yang diakibatkannya, sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua dalam memberantasnya.

Restitusi PPN diartikan sebagai pengembalian PPN karena jumlah pajak masukan (pembelian) melebihi pajak keluaran (penjualan). Umumnya, perusahaan yang berorientasi ekspor yang akan memohon restitusi, sebab dalam upaya menggalakkan ekspor dan juga supaya barang Indonesia lebih kompetitif di luar negeri, pemerintah mengizinkan penjualan ekspor tidak perlu dilakukan pemungutan PPN. Sampai di sini maksud dan tujuan operasional restitusi masih baik untuk kepentingan usaha di Indonesia. Dan apabila dianalisis dari logika ini, maka semakin banyak pengusaha yang melakukan restitusi berarti semakin banyak ekspor yang dilakukan dengan kemungkinan bahan baku lokal yang besar untuk semua materialnya, baik material langsung maupun pendukung.

Namun kemudahan fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah ini dimanfaatkan secara tidak benar oleh Wajib Pajak nakal untuk membobol kas Negara. Modus yang dilakukan pun beragam dari mulai melakukan mark up nilai pajak agar mendapat restitusi lebih besar, sampai pemalsuan faktur pajak yang digunakan untuk melakukan ekspor fiktif. Faktur pajak palsu yang digunakan dalam kejahatan ini, biasa disebut faktur pajak tidak sah/ bermasalah/ fiktif, selanjutnya disebut faktur pajak tidak sah.

Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 29/PJ.53/2003 tentang langkah-langkah penanganan atas penerbitan dan penggunaan faktur pajak tidak sah (fiktif), yang dimaksud faktur pajak tidak sah adalah:

· Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

· Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan Nomor Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.

· Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit

· Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN, tetapi secara material tidak terpenuhi yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.

· Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Ada beberapa ciri-ciri Wajib Pajak yang diindikasikan sebagai penerbit maupun pengguna faktur pajak tidak sah, diantaranya:

· Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN, tetapi elemen data SPT beserta lampirannya tidak dapat direkam karena Wajib Pajak tersebut tidak terdaftar sebagai PKP pada Master File Lokal.

· Wajib Pajak yang sering pindah alamat atau selalu mengajukan permohonan perpindahan alamat atau tempat kedudukan atau permohonan perpindahan lokasi tempat terdaftar (Kantor Pelayanan Pajak).

· Wajib Pajak Non Efektif (NE) tiba-tiba aktif dan mempunyai jumlah penyerahan yang cukup besar tiap bulannya.

· Wajib Pajak yang baru berdiri langsung mempunyai jumlah penyerahan besar, tetapi kurang bayarnya relatif kecil.

· Wajib Pajak-Wajib Pajak yang pengurus dan komisarisnya terdiri dari orang yang sama.

· Wajib Pajak-Wajib Pajak yang Akta Pendirian badan hukumnya disahkan oleh Notaris yang sama dan pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan, demikian juga dengan Nomor Akta.

· Wajib Pajak yang melaporkan jumlah penyerahan yang tidak sebanding dengan jumlah modal atau jumlah harta perusahaan.

· Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah penyerahan yang terutang PPN (Pajak Keluaran) menjadi besar dan atau jumlah Pajak Masukan menjadi besar.

· Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha perdagangan dan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti core business Wajib Pajak tersebut.

· Wajib Pajak yang jumlah pajak kurang bayar-nya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

· Wajib Pajak tidak tertib atau tidak pernah melaporkan kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan Pasal 21, 23 dan 25.

· Wajib Pajak yang melakukan rekayasa pembukuan.

· Wajib Pajak yang alamatnya tidak ditemukan, begitu pula alamat pengurusnya.

· Wajib Pajak yang jumlah penyerahannya besar, namun PPh Pasal 21 nya kecil.

· Wajib Pajak yang SPT Masa PPN-nya Lebih Bayar dan dikompensasi terus menerus, dan begitu dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan adanya persediaan.

Dalam kasus faktur pajak tidak sah ini, biasanya dilakukan secara berkelompok yang melibatkan banyak pihak dan tidak terlepas dari peranan dan keikutsertaan oknum aparat pajak, Bea dan Cukai, pengelola pelabuhan, pengusaha peti kemas, agen pelayaran asing yang menerbitkan dokumen atau bill of lading, produsen atau pengusaha ekspor, pengusaha ritel, makelar jasa kepabeanan, makelar agen pelayaran, dan makelar faktur, serta masih banyak instansi lainnya. Misalnya, dalam memeriksa WP, meskipun oknum pemeriksa pajak mengetahui adanya indikasi faktur pajak fiktif justru tidak dilakukan pemeriksaan, namun malah menego berapa “bagi hasil” yang bisa didapat. Oknum aparat Bea Cukai juga berperan dalam menerbitkan dokumen-dokumen kepabeanan serta ekspor impor, misalnya Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dsb. Sedangkan notaries, membantu membuat akta pendirian perusahaan fiktif.

Sanksi Faktur Pajak Fiktif

Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai, apabila faktur pajak tersebut disalahgunakan maka hal tersebut dapat menyebabkan kerugian Negara, dan atas percobaan melakukan tindak pidana itu merupakan delik tersendiri. Oleh karena itu, di dalam UU KUP yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun 2008 pasal 39 dan 39A, sudah diatur sanksi bagi mereka yang menyalahgunakan faktur pajak maupun mengajukan restitusi dan pengkreditan pajak namun isinya tidak benar.

Dalam pasal 39 disebutkan setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana:

a. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Sedangkan setiap orang yang dengan sengaja :

a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya;atau

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Contoh Kasus

Berikut kami sampaikan contoh kasus beberapa modus operandi penyalahgunaan faktur pajak tidak sah yang pernah terjadi dan sering dilakukan oleh WP nakal disertai solusi yang kami tawarkan dalam setiap kasus.

a. Mengumpulkan dan membeli faktur pajak dari peritel untuk dikreditkan sebagai faktur PM dengan tujuan ekspor fiktif.

Perusahaan yang nakal mengumpulkan dan membeli dokumen pembelian barang dari supermarket, mal-mal (peritel), karena biasanya para pembeli ritel tidak mengklaim PPN masukan dalam faktur pembeliannya. Selanjutnya, dokumen pembelian barang tersebut diberikan ke Bea Cukai. Pihak perusahaan mengaku bahwa barang-barang yang dibelinya itu akan diekspor. Dengan begitu, dia bisa menarik kembali dari PPN barang –barang yang dibelinya di dalam negeri. Berdasarkan keterangan itu, bea cukai pun mengeluarkan dokumen pemberitahuan ekspor. Selanjutnya, dengan modal dokumen tersebut, si pengusaha mendatangi kantor pelayanan pajak untuk mengurus restitusi pajaknya. Kecurangan tersebut baru terbongkar setelah petugas mendapatkan bukti bahwa pengusaha tersebut tidak pernah melakukan ekspor.

b. Dokumen ekspor lengkap, namun barang yang diekspor ekpor tidak pernah sampai di tempat tujuan ekspor.

Jika pengusaha eksportir (Indonesia) dengan importer dari Singapura (misalnya) “bekerjasama” untuk mengeruk kas Negara melalui restitusi PPN, semua dokumen ekspor lengkap, arus barang dan arus uang juga telah dibuktikan dengan adanya dokumen B/L (bill of lading) dan transfer uang di bank. Barang yang rencananya akan diekspor tersebut juga telah diberangkatkan melalui pelabuhan asal, misalnya Tanjung Priok, namun tidak akan sampai di pelabuhan Singapura, sebab dibelokkan ke Batam (misalnya) dan dijual di sana. Sehingga tidak pernah ada kejadian ekspor. Pengusaha eksportir akan meminta restitusi pajak ke KPP dengan membawa dokumen-dokumen tersebut. Petugas pajak tidak akan sampai memeriksa apakah barang ekspor itu telah sampai di Singapura atau tidak, karena memang tidak ada persyaratan itu, sehingga permohonan restitusi dikabulkan. Pengusaha diuntungkan dengan tetap menjual barangnya di dalam negeri, serta restitusi PPN yang didapatkannya dibagi dengan rekanan yang di Singapura.

c. Menggunakan Faktur Pajak fiktif dimana dalam hal ini transaksinya memang jelas tidak ada. Terhadap cara ini sesungguhnya akan mudah terdeteksi dengan sistem konfirmasi Faktur Pajak, namun karena jawaban konfirmasi lambat atau karena kepandaian PKP tersebut meyakinkan petugas KPP, maka ada kemungkinan dapat lolos.

d. Menciptakan PKP-PKP fiktif yang dilibatkan dalam suatu rangkaian transaksi yang fiktif pula. Dengan cara ini, satu PKP membentuk beberapa PKP lainnya yang biasanya dibuat berlokasi di beberapa KPP berbeda serta kota yang berbeda/ berjauhan. Selanjutnya antara PKP-PKP tersebut diciptakan seakan-akan ada transaksi yang didukung dengan faktur pajak. Biasanya beberapa diantara PKP tersebut merupakan perusahaan "boneka" yang melaporkan SPT Masanya kurang bayar sedikit, sehingga terlepas dari beberapa kriteria verifikasi lapangan, sedangkan perusahaan (PKP) intinya atau PKP-PKP pada tempat tertentu akan meminta resitusi dengan menggunakan Faktur Pajak hasil transaksi Fiktif antar PKP dalam kelompok tersebut. Dalam kasus ini, apabila diadakan konfirmasi juga akan dijawab "ada" karena Faktur pajak tersebut memang telah diatur agar dilaporkan sebagai Pajak Keluaran oleh PKP-PKP "bonekanya".

e. Sebuah PKP setiap bulan melaporkan SPT Masa PPN pada KPP. Sebelum dilakukan proses perekaman dan pemberkasan, SPT Masa PPN tersebut dipinjam tanpa melalui prosedur peminjaman melalui oknum petugas di seksi PPN. Selanjutnya SPT Masa PPN tersebut dipalsukan dengan cara merubah rincian faktur Pajak Masukan dan rincian faktur Pajak Keluaran yang nilainya digelembungkan dan SPT Masa PPN tersebut dimasukkan kembali ke KPP melalui TPT, yang selanjutnya SPT Masa PPN palsu tersebut dikirim ke bagian komputer untuk direkam. Dalam keadaan demikian, setiap kali KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi faktur pajak (Pajak Masukan vs Pajak Keluaran) dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN atau pemeriksaan pajak akan selalu dijawab ada.

f. Dan masih banyak lagi modusnya.

Analisis Kelemahan Sistem Restitusi PPN

Dari beberapa contoh kasus di atas dapat diambil beberapa pelajaran dalam rangka penyempurnaan proses restitusi PPN. Beberapa kelemahan yang bisa dilihat yaitu:

1. Pemberian jawaban konfirmasi hanya didasarkan pada pencocokan Faktur Pajak yang dimintakan konfirmasi dengan Daftar Pajak Keluaran pada SPT Masa dari PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dimaksud. Dengan cara ini tidak akan dapat terdeteksi apakah PKP yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut benar-benar ada dan aktif berusaha atau hanya berfungsi sebagai PKP Fiktif atau "papan nama". Didalam kenyataannya, PKP-PKP "boneka" atau "papan nama" tersebut secara teratur memasukkan SPT Masa PPN serta melunasi pajak yang kurang bayar dan melaporkan Faktur-faktur Pajak yang diterbitkannya dalam Daftar Pajak Keluaran.

2. Proses permintaan konfirmasi dan jawaban konfirmasi Faktur Pajak berlangsung lambat (memakan waktu yang cukup lama) sehingga batas waktu penyelesaian restitusi belum diperoleh atau belum seluruh Faktur Pajak mendapat jawaban konfirmasi. Keterlambatan ini dapat berasal dari kurang cepatnya respon dari KPP yang diminta konfirmasi, atau karena proses administrasi/tata usaha surat menyurat yang lama, atau karena pihak KPP yang meminta konfirmasi sendiri yang lambat mengajukan permintaan sehingga sudah mendekati batas waktu penyelesaian restitusi. Kondisi demikian akan mengakibatkan para petugas menjadi kurang waspada karena telah diburu batas waktu.

3. Kebenaran ekspor hanya didukung oleh dokumen PEB yang telah di fiat muat, B/L dan LPSE. Kelemahan dokumen pendukung ini adalah bahwa fiat muat dari Ditjen Bea dan Cukai pada PEB ternyata bukan merupakan jaminan bahwa barang benar-benar diekspor, dan demikian pula dengan B/L. Diantara dokumen tersebut yang paling menjamin kebenaran adanya ekspor adalah LPSE dari PT. Sucofindo, namun ekspor dengan LPSE ini hanya berlaku untuk jenis-jenis barang tertentu yang sangat terbatas jumlahnya.

4. Petugas yang melakukan pemeriksaan lapangan dalam rangka pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tidak bekerja secara professional dan benar. Mereka dapat dibohongi Wajib Pajak yang mengaku mempunyai kegiatan usaha, padahal sebenanya kegiatan usahanya fiktif/ milik orang lain. Terkadang, mentalitas petugas pajak yang melakukan pemeriksaan lapangan bisa disuap dengan cara diajak makan di restoran tertentu dengan alasan masih di luar kantor. Atau bahkan parahnya, terkadang jika lokasi kegiatan usaha jauh dan sulit dijangkau, fiskus malas berangkat ke lapangan dan hanya mengkonfirmasi melalui telepon. Padahal data (fotokopy KTP, KK, Keterangan Domisili, dll) yang digunakan untuk pengukuhan NPWP pada umumnya palsu/tidak sesuai dengan kenyataan.

Saran Perbaikan Sistem Restitusi

Beberapa saran yang dapat kami berikan dalam rangka pengamanan restitusi PPN diantaranya:

1. Fiskus diharuskan untuk melakukan analisa perkembangan usaha PKP yang meminta restitusi, perkembangan pembayaran PPN-nya dan perkembangan permintaan restitusi untuk beberapa masa pajak terakhir, serta kepatuhan PKP melaksanakan kewajiban perpajakan pada umumnya. Hal-hal ini semua sesungguhnya sangat penting untuk menilai apakah PKP memang telah melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan sesuai ketentuan atau hanya memenuhi persyaratan untuk tujuan tertentu. Selain itu, upaya selanjutnya adalah mencabut PKP yang tidak efektif. Jika diketahui PKP selama dua tahun tak beraktivitas, maka bisa diusulkan dihapus pengukuhan PKP-nya. Dengan demikian, hanya PKP yang benar-benar memiliki kegiatan usaha yang akan dilayani. Konsekuensi bagi yang dicabut adalah tidak mendapat restitusi.

2. Proses konfirmasi Faktur Pajak seharusnya mendapatkan perhatian dan prioritas sepenuhnya baik dari Kepala KPP yang meminta konfirmasi maupun Kepala KPP yang diminta konfirmasi, sehingga jangka waktunya dapat dipersingkat. Misalnya, Memberikan penegasan kembali tentang pentingnya melakukan langkah-langkah pengamanan berkaitan dengan faktur pajak fiktif dan klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-754/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan. Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara periodik dan tidak hanya pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya kejanggalan dapat segera diambil langkah-langkah pencegahan terjadinya penyimpangan lebih lanjut.

Selain itu, perlu dilakukan pembenahan database internal DJP sehingga akan memudahkan fiskus dalam melakukan konfirmasi faktur pajak yang diperlukan.

3. Lebih meningkatkan pengendalian terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan terhadap pejabat yang dapat mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an maupun penggunaan, disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga dapat mencegah terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

4. Menyempurnakan aplikasi sistem Pajak Keluaran Pajak Masuk (PK-PM) dan merancang formulir SPT Masa PPN baru yang lebih sederhana serta berbasis data elektronik. Sehingga petugas tidak akan merekam ulang secara manual satu per satu ke dalam aplikasi dan waktu yang dibutuhkan dalam proses entry data dan konfirmasi bisa lebih singkat.

5. Segera merealisasikan jaringan pelabuhan (port net) melalui adanya Indonesian National Single Window yang nantinya akan merupakan bagian dari ASEAN Single Window atau bahkan International port net. Jika sistem ini diterapkan, maka ekspor yang berangkat dari Indonesia akan langsung tercatat dalam dokumen di Singapura atau negara tujuan lainnya. Dengan begini, maka kemungkinan ekspor fiktif dapat dihindari. Selain itu, penggunaan sistem ini juga akan membantu memperkecil kemungkinan penyelundupan karena barang yang dicatat sebagai ekspor Singapura ke Indonesia harus sama dengan barang yang dicatat sebagai impor dari Singapura di Indonesia. Dan laporan penerimaan barang di pelabuhan Negara tujuan harus disertakan sebagai lampiran permohonan restitusi.

6. Mempercepat modernisasi DJP di seluruh Indonesia, sehingga profesionalisme, mentalitas dan moralitas pegawai pajak tidak tercemari lagi oleh adanya suap ataupun langkah licik dari Wajib Pajak nakal yang ingin membobol uang Negara melalui restitusi PPN. Serta Fiskus dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya indikasi-indikasi kecurangan Wajib Pajak.